Written by Fitri Hariyadiningsih | ||||
Tuesday, 23 October 2012 | ||||
Tak puas dengan bisnis itu, setelah lulus kuliah dan bekerja, Kartini kembali mencari bisnis sampingan lain. Malah, ia sampai ikut seminar untuk menetukan ide usaha. “Dari seminar itu saya mendapatkan ilmu bahwa bisnis harus dilandasi dari hobi kita,” katanya.
Dari situ pula ia belajar manajemen bisnis di UKMKU. “Dan saya memutuskan untuk berbisnis makanan,” lanjut ibu dari Kenzie (3) ini. Ia membuat makanan seperti siomay, bakso, pempek, dan mi. Menurut Kartini, semua makanan itu sangat disukai oleh masyarakat. Sebelum menjual semua makanan tersebut, ia menawarkan terlebih dahulu kepada saudara-saudaranya.
Kartini mendadak tak percaya diri kalau-kalau makanan itu tak laku dijual. Setelah mendapat respon yang positif, enam bulan kemudian ia pun memberanikan diri untuk menjual semua makanan bikinannya. Ia menamakan brand bisnisnya Mommy’s Kitchen. Promosi yang dilakukan pun sangat sederhana. Kartini membuat brosur tentang bisnis makanannya dan membagikan kepada orang-orang di sekitar rumah dan kantornya.
Ia juga menyasar para penghuni kos yang berada di sekitar rumahnya. “Kebetulan tempat tinggal saya dekat dengan kampus,” ucapnya. Ia juga mendatangi tempat kos milik temannya. Di tempat kos yang terdiri dari 30 kamar itu, Kartini membagikan brosur kulinernya. Alhasil, banyak yang pesan kepadanya.
Tak heran, modal yang ia keluarkan Rp7 juta langsung balik untung pada bulan kedua. Kartini mengaku, suaminya juga sangat berperan dalam bisnis ini. Sang suami tak sungkan-sungkan untuk menawarkan makanan itu kepada teman-teman kantornya. “Dari situ pesanan saya semakin bertambah dan bertambah,” ucapnya.
MENGUNTUNGKAN
Dari bisnis itu, setiap bulan rata-rata Kartini mendapatkan tambahan uang Rp10 juta. Ada beberapa menu yang ia buat setiap bulannya, antara lain: pempek, dim sum, lumpia, pisang goreng, bakso, tekwan, mi ayam, dan siomay. Ternyata siomay mendapat sambutan yang cukup bagus. Dalam satu minggu order untuk siomay bisa berkali-kali.
Ia pun mematuk minimum pemesanan bila ada pelanggan yang menginginkan makanan diantar ke rumah masing-masing. “Untuk perusahaan, minimal order 300 buah siomay. Tapi, jika per orangan minimal order Rp25 ribu. Kalau masih di seputaran rumah saya di Kuningan dan Sudirman tidak dikenakan ongkos,” ceritanya.
Berhubung sehari-hari ia bekerja, akhirnya Kartini merekrut 4 karyawan untuk membantunya sehari-hari. Tiga orang untuk juru masak dan satu orang untuk kurir antar. Ke depannya, ia ingin membuka kantin dengan menu utama siomay. Konsepnya adalah siomay pinggir jalan dengan rasa yang enak dan harga murah. “Pokoknya siomay buatan saya tidak menggunakan bahan pengawet dan higienis,” tutupnya sambil berpromosi.
|
||||

Terima Kasih sudah mengunjungi blog UKMKU. Blog ini akan dibuat bagi yang ingin mendapatkan informasi tentang serba-serbi usaha kecil menengah (ukm) dan ingin mengetahui cerita-cerita menarik mengenai pengalaman membuka dan menjalankan usaha. Blog ini merupakan sarana untuk berbagi cerita dan pengalaman usaha atau kegiatan yang saya alami sehari-hari yang menarik tentunya. Semoga blog ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua dalam berwirausaha. Sukses untuk Anda !!!
Wednesday, November 28, 2012
Bisnis Sampingan yang Menguntungkan
Sunday, October 7, 2012
Ermaningsih Bikin Roti Rumahan
Sunday, September 30, 2012
Katering Sehat Ala Si Dokter
Sofiana adalah seorang dokter yang menyukai kuliner. Semenjak tinggal di Semarang, Jawa Tengah, bersama orangtuanya, Sofi memang sudah akrab dengan bisnis makanan.
Sejak tahun 1960 kedua orang tuanya membuka restoran di kota itu. “Dan kebetulan saudara-saudara saya juga banyak yang berbisnis makanan,” katanya membuka cerita. Semanjak kecil itu pula Sofi secara tidak langsung diajarkan cara memasak dan menghidangkan makanan. Mana makanan yang enak dan mana yang tidak. “Ilmu itu sudah saya ketahui dari orangtua,” sambungnya.
BELAJAR BERBISNIS KULINER
Setelah lulus SMA, Sofi langsung melanjutkan kuliah di bidang kedokteran di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Saat itu ia sama sekali tak terpikir untuk bisnis kuliner. “Kebetulan saya memang bercita-cita jadi dokter,” ceritanya. Berjalannya waktu, ada yang kurang di diri Sofi. Setelah menjadi dokter di salah satu rumah sakit di Cibitung, Bekasi. Jiwa berbisnis Sofi kembali terpanggil.
Ia pun meminta izin kepada sang suami, Suharsono, untuk merintis bisnis kuliner. “Bagai gayung bersambut, suami saya mengizinkan,” serunya. Bisnis kuliner pun ia mulai. Ia merintis dari nol. Sofi memulainya dengan order dari teman-teman terdekat. Bila ada yang hajatan, rapat, dan seminar, Sofi menawarkan katering miliknya. “Awalnya saya hanya fokus ke kue-kue kecil, lalu berlanjut ke roti dan nasik boks,” jelasnya.
Di luar dugaan, respon teman-temannya pun sungguh bagus. Secara rutin mereka selalu memesan makanan kepada Sofi. Dari situlah akhirnya ia terpikir untuk membuat warung soto khas Ambengan, Jawa Timur, di dekat rumahnya di Cikarang, Bekasi. Ternyata, walau makanan itu laku, Sofi kerepotan dengan manajemen keuangan.
“Yang saya tahu semenjak kecil adalah, bagaimana cara membuat makanan enak,” katanya. Sedangkan, untuk manajemen keuangan bisnis makanan, Sofi sama sekali tidak tahu. “Ternyata bisnis itu bukan cuma mengandalkan produk, tapi juga harus pintar mengatur keuangan,” sambungnya. Awalnya ia menggabung keuntungan dari bisnis katering dengan tabungan pribadi, “Ternyata hasilnya malah berantakan. Saya tidak tahu mana keuntungan dari bisnis makanan dan mana uang operasional,” terangnya.
Selain itu, dengan menggabung uang tersebut, Sofi jadi tak tahu berapa keuntungan bisnis makanan tersebut. Sadar akan hal itu penting, Sofi pun mendaftar pelatihan ke UKMKU asuha Wulan Ayodya. Ia mengambil pelatihan manajemen katering. “Setelah mengikuti pelatihan, saya baru sadar atas kesalahan yang saya lakukan. Ternyata uang hasil bisnis memang harus dipisah,” katanya.
Ia juga jadi tahu, bahwa dalam bisnis makanan harus ada orang yang mengurus produksi makanan dan orang yang mengawasi stok makanan. “Dan bagian ini tidak bisa dikerjakan olrh satu orang,” ucapnya. Pengalaman Sofi, ketika bagian ini digabungkan, ia jadi tidka tahu bahan-bahan apa saja yang sudah habis dan masih tersisa. Karena ketidaktahuan ini, pernah suatu hari ketika hendak memasak, bahan-bahan yang akan diolah sudah habis. “Terpaksa saya harus membeli terlebih dahulu. Sungguh memakan waktu,” terangnya.
Semenjak itulah Sofi mencari orang khusus untuk mengurusi produksi dan belanja harian. Dari situ keuangannya mulai terbenahi. Ia bisa fokus memantau uang masuk dan uang keluar. “Saya juga jadi tahu berapa keuntungan katering karena semua tercatat di buku khusus,” lanjutnya.
MENGEMBANGKAN USAHA
Tahun 2011 Sofi mulai mengembangkan usaha kateringnya. Ia mulai mengajukan catering tersebut ke perusahaan-perusahaan. Ia sadar, persaingan bisnis katering sungguh luar biasa. Untuk itu, ia pun mencari pembeda dengan katering orang lain. Sofi mengaku katering miliknya menyajikan makanan yang enak dan sehat. “Tidak hanya kualitas rasa yang saya perhatikan, tapi juga kandungan gizi yang ada di makanan tersebut,” paparnya.
Konsep ini muncul lantaran ia adalah seorang dokter. Di dunia kedokteran kesehatan menjadi perihal nomor satu. Tak tanggung-tanggung, Sofi sampai membayar ahli gizi untuk bisnis kuliner ini. Ahli gizi akan mengukur kalori, karbohidrat, serta kandungan lainnya yang diperlukan oleh tubuh. “Dijamin orang yang memakan katering saya akan sehat,” tuturnya tersenyum.
Berkat pembeda ini pula kini bisnisnya laris manis. Ada beberapa perusahaan yang memesan katering khusus kepadanya. Sofi mengaku, karena banyaknya permintaan pesanan, akhirnya ia harus pintar-pintar membagi waktu dengan pekerjaan utamanya sebagai dokter. Setiap saat ia harus menelepon anak buah, apa saja pesanan yang sudah dikirim, dan lain-lain.
“Saya juga mengurusi complain dari pelanggan. Semua saya tangani,” katanya. Sofi sangat puas dengan apa yang ia lakukan. Ke depannya ia akan mengembangkan katering untuk orang-orang yang tengah diet. “Tunggu saja,” tutupnya.
Dikutip dari http://majalahsekar.com/dunia-usaha/profil/460-katering-sehat-ala-si-dokter
Dikutip dari http://majalahsekar.com/dunia-usaha/profil/460-katering-sehat-ala-si-dokter
Sunday, September 23, 2012
Ambar Murtilina Bisnis Roti dengan Modal Rp100 Ribu
Dengan modal Rp100 ribu, ia memberanikan diri untuk merintis bisnis roti. Kini pelanggannya semakin banyak. Malah, tahun ini 70 warung siap menjadi distiributor.
Semenjak dulu, Lina (38), begitu perempuan ini disapa, memang bercita-cita menjadi pengusaha sukses. Tapi semua itu baru terwujud setelah ia lulus kuliah dan bekerja di perusahaan swasta. Lina menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 4 dengan Jurursan Tata Boga di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Setelah lulus sekolah ia melanjutkan ke Akademi Perhotelan di Universitas Sahid, Jakarta. Berbeda dengan teman-temannya, Lina tergolong mahasiswa yang tak betah berdiam diri.
Waktu senggang kuliah ia pakai untuk bekerja di salah satu pasar swalayan sebagai marketing. Keluwesan dan ketekunan inilah yang membuat Lina cepat mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah.
Ia bekerja di perusahaan bakery ternama yang memproduksi donat. Namun begitu, ia merasa tidak betah. Pasalnya, perusahaan tersebut menempatkan Lina pada posisi marketing. “Padahal saya lebih suka di bagian produksi donat,” jelasnya.
Setahun kemudian Lina pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia bertekad untuk memulai bisnis. “Yang terpikir saat itu hanyalah bisnis warung nasi,” jelasnya. Tanpa pikir panjang, Lina pun membuat warung nasi tak jauh dari rumahnya. Namun sayang, bisnis ini hanya bertahan enam bulan. Warung nasinya tutup dan ia pun merugi.
Lina tidak menyerah. Pada tahun 2009 ia mendapat kabar mengenai pelatihan cara pembuatan roti di UKMKU asuhan Wulan Ayodya. “Kebetulan saya memang suka dengan roti dan saya ingin tahu bagaimana cara pembuatannya,” ceritanya. Dari situlah kemudian Lina berpikir untuk membangun bisnis roti. Menurutnya, roti itu makanan yang disukai oleh semua orang, dari anak kecil sampai orang dewasa. “Tapi, bukan berarti membuat bisnis roti itu mudah. Apalagi saya merupakan pendatang baru yang harus bersaing dengan merek roti lainnya,” jelasnya.
Lina pun membuat pembeda di bisnisnya ini. Ia membuat roti tanpa bahan pengawet dan harga yang murah. “Karena setahu saya saat ini banyak roti yang menggunakan bahan pengawet dan harganya mahal. Nah, saya ingin beda dari yang lain,” tuturnya.
Bisnis roti Lina resmi berdiri pada tanggal 4 Maret 2009 dengan modal Rp100 ribu. Uang itu ia belikan untuk terigu dan aneka selali. “Ternyata uang Rp100 ribu itu bisa untuk membuat roti selama seminggu,” jelasnya. Lina baru tahu ternyata membuat roti tidak memerlukan banyak terigu. Di hari pertama produksi misalnya, ia hanya menghabiskan 1kg tepung. “Dari 1kg tepung itu saya bisa membuat 45 buah roti,” ucapnya.
TERUS BERKEMBANG
Setiap hari, produksi roti Lina semakin bertambah. Dari 1kg per hari, terus bertambah hingga 10 kg per hari. Roti-roti yang sudah diproduksi ia kirim ke warung-warung terdekat untuk dijual. Di sinilah Lina kerap mendapatkan coba-cobaan. Roti buatannya kerap ditolak. Apalagi ketika mendengar roti tersebut dibuat di rumah. “Hah, roti rumahan? Pasti aneh rasanya” begitu kata orang-orang pada saat awal-awal ia menitip jual roti.
Apalagi para pemilik warung sudah terbiasa dengan roti buatan pabrik. “Ketika mendengar roti rumahan mereka langsung aneh,” jelas Lina. Dari 15 warung yang didatangi olehnya, hanya 5 warung yang bersedia dititipkan roti. Padahal Lina sudah memberikan contoh roti untuk dicoba secara cuma-cuma. “Namun mereka tetap tidak mau,” katanya.
Lina tak mau putus asa. Ia tetap mencari warung-warung lain yang mau menerima roti buatannya. Dari 20 roti yang dititipkan di satu warung, hanya 1 atau 2 roti yang laku. Selebihnya si pemilik warung memulangkan roti-roti tersebut. Kondisi ini tak berjalan lama. Lina semakin bangkit dan terus memperbaiki kualitas rasa roti tersebut. Dan hasilnya sangat mengejutkan. Roti-roti itu habis terjual. Sampai-sampai si pemilik warung meminta Lina untuk mengirimkan kembali roti-roti tersebut. Berhubung banyak permintaan, akhirnya warung-warung yang sempat menolak roti buatan Lina pun berubah pikiran. “Mereka segera menghubungi saya dan minta dikirim roti,” ceritanya sambil tersenyum.
Berhubung permintaan semakin tinggi, Lina pun mulai keteteran. “Setiap hari saya mendapat telepon bertubi-tubi, pesannya hanya satu, mereka minta dikirimi roti segera,” kata perempuan kelahiran Jakarta 2 Juni 1974 ini. Mau tidak mau, Lina pun mengganti cara produksi roti tersebut. Ia mulai memproduksi dengan jumlah yang besar. Tak hanya itu, ia juga mengemas roti-roti itu dalam plastik bening agar terjaga kebersihannya. Setiap mengantar Lina akan bertanya kepada pemilik warung, apa saja kekurangan pada produknya. “Dari situ saya terus belajar dan belajar untuk menghasilkan roti yang lezat,” jelasnya.
Ia juga membuat inovasi dalam varian rasa roti, tak hanya roti cokelat, kacang hijau, kelapa, dan stroberi, namun ia juga membuat roti piza. Roti berbentuk makanan khas Italia ini dibuat mungil. Rencananya ia akan memproduksi massal roti piza setelah Lebaran tahun ini. “Awalnya coba-coba tapi ternyata peminatnya banyak,” tuturnya sabil tersenyum. Tak hanya varian rasa yang akan dikembangkan oleh Lina, ia juga menargetkan distributor roti-roti buatannya. “Kalau bisa tahun ini 70 warung yang menjual roti buatan saya. Saya yakin pasti berhasil,” tutupnya.
Dikutip dari http://www.majalahsekar.com/dunia-usaha/profil/457-ambar-murtilina-bisnis-roti-dengan-modal-rp100-ribu
Subscribe to:
Posts (Atom)