Sunday, September 30, 2012

Katering Sehat Ala Si Dokter

Sofiana adalah seorang dokter yang menyukai kuliner. Semenjak tinggal di Semarang, Jawa Tengah, bersama orangtuanya, Sofi memang sudah akrab dengan bisnis makanan.
Sejak tahun 1960 kedua orang tuanya membuka restoran di kota itu. “Dan kebetulan saudara-saudara saya juga banyak yang berbisnis makanan,” katanya membuka cerita. Semanjak kecil itu pula Sofi secara tidak langsung diajarkan cara memasak dan menghidangkan makanan. Mana makanan yang enak dan mana yang tidak. “Ilmu itu sudah saya ketahui dari orangtua,” sambungnya.
BELAJAR BERBISNIS KULINER
Setelah lulus SMA, Sofi langsung melanjutkan kuliah di bidang kedokteran di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Saat itu ia sama sekali tak terpikir untuk bisnis kuliner. “Kebetulan saya memang bercita-cita jadi dokter,” ceritanya. Berjalannya waktu, ada yang kurang di diri Sofi. Setelah menjadi dokter di salah satu rumah sakit di Cibitung, Bekasi. Jiwa berbisnis Sofi kembali terpanggil.
Ia pun meminta izin kepada sang suami, Suharsono, untuk merintis bisnis kuliner. “Bagai gayung bersambut, suami saya mengizinkan,” serunya. Bisnis kuliner pun ia mulai. Ia merintis dari nol. Sofi memulainya dengan order dari teman-teman terdekat. Bila ada yang hajatan, rapat, dan seminar, Sofi menawarkan katering miliknya. “Awalnya saya hanya fokus ke kue-kue kecil, lalu berlanjut ke roti dan nasik boks,” jelasnya.
Di luar dugaan, respon teman-temannya pun sungguh bagus. Secara rutin mereka selalu memesan makanan kepada Sofi. Dari situlah akhirnya ia terpikir untuk membuat warung soto khas Ambengan, Jawa Timur, di dekat rumahnya di Cikarang, Bekasi. Ternyata, walau makanan itu laku, Sofi kerepotan dengan manajemen keuangan.
“Yang saya tahu semenjak kecil adalah, bagaimana cara membuat makanan enak,” katanya. Sedangkan, untuk manajemen keuangan bisnis makanan, Sofi sama sekali tidak tahu. “Ternyata bisnis itu bukan cuma mengandalkan produk, tapi juga harus pintar mengatur keuangan,” sambungnya. Awalnya ia menggabung keuntungan dari bisnis katering dengan tabungan pribadi, “Ternyata hasilnya malah berantakan. Saya tidak tahu mana keuntungan dari bisnis makanan dan mana uang operasional,” terangnya.
Selain itu, dengan menggabung uang tersebut, Sofi jadi tak tahu berapa keuntungan bisnis makanan tersebut. Sadar akan hal itu penting, Sofi pun mendaftar pelatihan ke UKMKU asuha Wulan Ayodya. Ia mengambil pelatihan manajemen katering. “Setelah mengikuti pelatihan, saya baru sadar atas kesalahan yang saya lakukan. Ternyata uang hasil bisnis memang harus dipisah,” katanya.
Ia juga jadi tahu, bahwa dalam bisnis makanan harus ada orang yang mengurus produksi makanan dan orang yang mengawasi stok makanan. “Dan bagian ini tidak bisa dikerjakan olrh satu orang,” ucapnya. Pengalaman Sofi, ketika bagian ini digabungkan, ia jadi tidka tahu bahan-bahan apa saja yang sudah habis dan masih tersisa. Karena ketidaktahuan ini, pernah suatu hari ketika hendak memasak, bahan-bahan yang akan diolah sudah habis. “Terpaksa saya harus membeli terlebih dahulu. Sungguh memakan waktu,” terangnya.
Semenjak itulah Sofi mencari orang khusus untuk mengurusi produksi dan belanja harian. Dari situ keuangannya mulai terbenahi. Ia bisa fokus memantau uang masuk dan uang keluar. “Saya juga jadi tahu berapa keuntungan katering karena semua tercatat di buku khusus,” lanjutnya.
alt
MENGEMBANGKAN USAHA
Tahun 2011 Sofi mulai mengembangkan usaha kateringnya. Ia mulai mengajukan catering tersebut ke perusahaan-perusahaan. Ia sadar, persaingan bisnis katering sungguh luar biasa. Untuk itu, ia pun mencari pembeda dengan katering orang lain. Sofi mengaku katering miliknya menyajikan makanan yang enak dan sehat. “Tidak hanya kualitas rasa yang saya perhatikan, tapi juga kandungan gizi yang ada di makanan tersebut,” paparnya.
Konsep ini muncul lantaran ia adalah seorang dokter. Di dunia kedokteran kesehatan menjadi perihal nomor satu. Tak tanggung-tanggung, Sofi sampai membayar ahli gizi untuk bisnis kuliner ini. Ahli gizi akan mengukur kalori, karbohidrat, serta kandungan lainnya yang diperlukan oleh tubuh. “Dijamin orang yang memakan katering saya akan sehat,” tuturnya tersenyum.
Berkat pembeda ini pula kini bisnisnya laris manis. Ada beberapa perusahaan yang memesan katering khusus kepadanya. Sofi mengaku, karena banyaknya permintaan pesanan, akhirnya ia harus pintar-pintar membagi waktu dengan pekerjaan utamanya sebagai dokter. Setiap saat ia harus menelepon anak buah, apa saja pesanan yang sudah dikirim, dan lain-lain.
“Saya juga mengurusi complain dari pelanggan. Semua saya tangani,” katanya. Sofi sangat puas dengan apa yang ia lakukan. Ke depannya ia akan mengembangkan katering untuk orang-orang yang tengah diet. “Tunggu saja,” tutupnya.

Dikutip dari http://majalahsekar.com/dunia-usaha/profil/460-katering-sehat-ala-si-dokter
 

Sunday, September 23, 2012

Ambar Murtilina Bisnis Roti dengan Modal Rp100 Ribu




Dengan modal Rp100 ribu, ia memberanikan diri untuk merintis bisnis roti. Kini pelanggannya semakin banyak. Malah, tahun ini 70 warung siap menjadi distiributor.
Semenjak dulu, Lina (38), begitu perempuan ini disapa, memang bercita-cita menjadi pengusaha sukses. Tapi semua itu baru terwujud setelah ia lulus kuliah dan bekerja di perusahaan swasta. Lina menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 4 dengan Jurursan Tata Boga di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Setelah lulus sekolah ia melanjutkan ke Akademi Perhotelan di Universitas Sahid, Jakarta. Berbeda dengan teman-temannya, Lina tergolong mahasiswa yang tak betah berdiam diri.
Waktu senggang kuliah ia pakai untuk bekerja di salah satu pasar swalayan sebagai marketing. Keluwesan dan ketekunan inilah yang membuat Lina cepat mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah.
Ia bekerja di perusahaan bakery ternama yang memproduksi donat. Namun begitu, ia merasa tidak betah. Pasalnya, perusahaan tersebut menempatkan Lina pada posisi marketing. “Padahal saya lebih suka di bagian produksi donat,” jelasnya.
Setahun kemudian Lina pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia bertekad untuk memulai bisnis. “Yang terpikir saat itu hanyalah bisnis warung nasi,” jelasnya. Tanpa pikir panjang, Lina pun membuat warung nasi tak jauh dari rumahnya. Namun sayang, bisnis ini hanya bertahan enam bulan. Warung nasinya tutup dan ia pun merugi.
Lina tidak menyerah. Pada tahun 2009 ia mendapat kabar mengenai pelatihan cara pembuatan roti di UKMKU asuhan Wulan Ayodya. “Kebetulan saya memang suka dengan roti dan saya ingin tahu bagaimana cara pembuatannya,” ceritanya. Dari situlah kemudian Lina berpikir untuk membangun bisnis roti. Menurutnya, roti itu makanan yang disukai oleh semua orang, dari anak kecil sampai orang dewasa. “Tapi, bukan berarti membuat bisnis roti itu mudah. Apalagi saya merupakan pendatang baru yang harus bersaing dengan merek roti lainnya,” jelasnya.
Lina pun membuat pembeda di bisnisnya ini. Ia membuat roti tanpa bahan pengawet dan harga yang murah. “Karena setahu saya saat ini banyak roti yang menggunakan bahan pengawet dan harganya mahal. Nah, saya ingin beda dari yang lain,” tuturnya.
Bisnis roti Lina resmi berdiri pada tanggal 4 Maret 2009 dengan modal Rp100 ribu. Uang itu ia belikan untuk terigu dan aneka selali. “Ternyata uang Rp100 ribu itu bisa untuk membuat roti selama seminggu,” jelasnya. Lina baru tahu ternyata membuat roti tidak memerlukan banyak terigu. Di hari pertama produksi misalnya, ia hanya menghabiskan 1kg tepung. “Dari 1kg tepung itu saya bisa membuat 45 buah roti,” ucapnya.
TERUS BERKEMBANG
Setiap hari, produksi roti Lina semakin bertambah. Dari 1kg per hari, terus bertambah hingga 10 kg per hari. Roti-roti yang sudah diproduksi ia kirim ke warung-warung terdekat untuk dijual. Di sinilah Lina kerap mendapatkan coba-cobaan. Roti buatannya kerap ditolak. Apalagi ketika mendengar roti tersebut dibuat di rumah. “Hah, roti rumahan? Pasti aneh rasanya” begitu kata orang-orang pada saat awal-awal ia menitip jual roti.
Apalagi para pemilik warung sudah terbiasa dengan roti buatan pabrik. “Ketika mendengar roti rumahan mereka langsung aneh,” jelas Lina. Dari 15 warung yang didatangi olehnya, hanya 5 warung yang bersedia dititipkan roti. Padahal Lina sudah memberikan contoh roti untuk dicoba secara cuma-cuma. “Namun mereka tetap tidak mau,” katanya.
Lina tak mau putus asa. Ia tetap mencari warung-warung lain yang mau menerima roti buatannya. Dari 20 roti yang dititipkan di satu warung, hanya 1 atau 2 roti yang laku. Selebihnya si pemilik warung memulangkan roti-roti tersebut. Kondisi ini tak berjalan lama. Lina semakin bangkit dan terus memperbaiki kualitas rasa roti tersebut. Dan hasilnya sangat mengejutkan. Roti-roti itu habis terjual. Sampai-sampai si pemilik warung meminta Lina untuk mengirimkan kembali roti-roti tersebut. Berhubung banyak permintaan, akhirnya warung-warung yang sempat menolak roti buatan Lina pun berubah pikiran. “Mereka segera menghubungi saya dan minta dikirim roti,” ceritanya sambil tersenyum.
Berhubung permintaan semakin tinggi, Lina pun mulai keteteran. “Setiap hari saya mendapat telepon bertubi-tubi, pesannya hanya satu, mereka minta dikirimi roti segera,” kata perempuan kelahiran Jakarta 2 Juni 1974 ini. Mau tidak mau, Lina pun mengganti cara produksi roti tersebut. Ia mulai memproduksi dengan jumlah yang besar. Tak hanya itu, ia juga mengemas roti-roti itu dalam plastik bening agar terjaga kebersihannya. Setiap mengantar Lina akan bertanya kepada pemilik warung, apa saja kekurangan pada produknya. “Dari situ saya terus belajar dan belajar untuk menghasilkan roti yang lezat,” jelasnya.
Ia juga membuat inovasi dalam varian rasa roti, tak hanya roti cokelat, kacang hijau, kelapa, dan stroberi, namun ia juga membuat roti piza. Roti berbentuk makanan khas Italia ini dibuat mungil. Rencananya ia akan memproduksi massal roti piza setelah Lebaran tahun ini. “Awalnya coba-coba tapi ternyata peminatnya banyak,” tuturnya sabil tersenyum. Tak hanya varian rasa yang akan dikembangkan oleh Lina, ia juga menargetkan distributor roti-roti buatannya. “Kalau bisa tahun ini 70 warung yang menjual roti buatan saya. Saya yakin pasti berhasil,” tutupnya.

Dikutip dari http://www.majalahsekar.com/dunia-usaha/profil/457-ambar-murtilina-bisnis-roti-dengan-modal-rp100-ribu

Monday, September 10, 2012

Dian Eka Bangun Rumah Berkat Kue Kering


Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah. Hal itu dialami oleh Dian Eka Safitri yang akrab disapa Fitri. Di bulan puasa itu, ia meraup untung melalui bisnis kue kering.
Pelanggannya banyak. sampai-sampai Fitri kewalahan menerima semua pesanan dari masyarakat. Kesuksesan ini tidak ia dapat dengan mudah. Dulu, ia harus bekerja keras demi kue-kue yang ia buat laku dan dibeli oleh masyarakat.
MODAL BERANI
Fitri lahir di Tanjungkarang, Lampung  4 September 1978. Sebagai  anak pertama dari empat bersaudara dia membantu mamanya, yang berbisnis katering dan berbagai macam kue.  Awalnya, ia merasa terpaksa melakukan semua ini. Kalau tidak membantu sang mama, ia tidak mendapat uang tambahan.
Biasanya menjelang Lebaran, bila dia berhasil menjual satu stoples kue, Fitri akan mendapat upah Rp5 ratus. Jika membantu mengadon dan membakar satu loyang kue, ia juga akan mendapat Rp2 ribu per hari. Uang-uang itu baru akan diberikan sang mama kepadanya setelah akhir bulan Ramadhan.
Selepas SMA Fitri kuliah di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan. Di sana ia menikah dengan teman sekampusnya, Dendy Eriawan (35) pada tahun 2004. Setelah lulus kuliah ia sempat bekerja selama setahun. Alasan berhenti karena ia merasa tidak enak terlalu sering meminta izin untuk mengantar sang mama berobat. Saat itu orang tuanya divonis mengidap kanker paru-paru stadium 4. Belum lagi penyakit komplikasi ginjal dan jantung akibat diabetes. Mau tidak mau, Fitri harus ada di samping mamanya setiap saat.
Di saat itulah ia terpikir untuk berbisnis. “Tapi saya bingung mau bisnis apa,” katanya. Berhubung Fitri mengundurkan diri dari perusahaan mendekati Ramadhan, tercetuslah untuk berbisnis kue kering. Ide itu diusulkan oleh mamanya. “Modal awal ditanggung oleh mama saya Rp10 juta,” katanya. Tapi, Fitri tak langsung senang dengan adanya modal itu. Ia sempat bingung. Jangan-jangan nanti modalnya tidak bisa balik? Bagaimana kalau bisnis ini merugi? Pikiran pesimis pun menghantui Fitri.
Belum lagi saya tidak punya jaringan bisnis. Mau mengandalkan teman-teman? Tidak mungkin. Teman-teman Fitri banyak di Lampung dan Bogor. Sedangkan ketika bekerja ia menetap di Jakarta. “Begitu pula dengan suami saya, ia dari Solo. Jadi, kami benar-benar bingung ketika memulai bisnis ini,” jelasnya. Sebelum benar-benar berbisnis, Fitri kembali bertanya kepada mamanya. “Kalau nanti rugi dan tidak untung, tidak apa-apa, ya?” begitu ucap Fitri kepada mamanya saat itu.
Uang pinjaman itu ia belikan oven, peralatan membuat kue, dan bahan kue. Sedangkan mixer dan blender Fitri pinjam dari mertuanya. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Fitri diantar suami berbelanja bahan kue ke pasar menggunakan motor. Setelah kue-kue itu jadi, sang suami akan membawa contoh kue kering buatan Fitri ke kantor. “Gunanya untuk diicip-icip oleh teman kantornya,” sambung Fitri. Di luar dugaan, ternyata kue buatannya laku. Malah, bulan-bulan pertama berbisnis ia sempat menjual 500 stoples.
Jelas hasilnya sangat menguntungkan. Selesai Lebaran, Fitri langsung melunasi pinjaman modal kepda sang mama. “Itu pun masih ada sisa dan saya belikan untuk peralatan kue,” katanya. Tahun-tahun berikutnya bisnis Fitri semakin maju. Pada tahun 2011 misalnya, ia bisa menjual 7500 stoples pada bulan Ramadhan. “Kini bisnis saya sudah menginjak tahun ke-8. Rencananya Lebaran kali ini target penjualan saya 12.000 stoples,” tuturnya.
altJATUH BANGUN
Walau bisnisnya tergolong sukses, bukan berarti Fitri tak pernah merugi. Apalagi ketika awal-awal dimana ia mengerjakan semuanya sendirian, mulai dari produksi, memasarkan, hingga pembukuan. Ketika orderan semakin banyak pada tahun 2010, ia dikomplain oleh para pelanggannya karena dianggap tidak maksimal. “Padahal saya sudah capai, eh, malah dimarahi pula,” tuturnya.
Ada pengalaman yang tak bisa ia lupakan hingga saat ini. Ketika ia masih berbelanja menggunakan motor ke pasar, tiba-tiba motor yang ia tumpangi mogok di tengah jalan. Bensinnya habis. Masalah tak sampai di situ, ketika akan mengisi bensin pun Fitri harus susah payah menurunkan semua barang-barang belanjaannya. “Karena semua barang-barang itu menutupi semua motor saya. penuh, deh,” katanya.
Tak hanya itu, sesampai di rumah pun ia harus menata semua barang-barang belanja tersebut dengan rapi. Bukan apa-apa, rumah kontrakannya sempit dan tak memadai untuk memproduksi kue. Namun bukan Fitri namanya kalau harus menyerah. Kejadian-kejadian kecil itu melecut dirinya untuk semakin maju dan terus berusaha. Ada satu cara untuk memotivasi dirinya dalam berbisnisn. Ia selalu menempel di dinding gambar-gambar peralatan pembuat kue yang hendak ia beli. “Dengan begitu saya menjadi terpacu,” jelasnya.
altMENGGAPAI MIMPI
Fitri tak berhenti belajar, ia terus menggali ilmu termasuk mengikuti pelatihan Kue Kering Ekonomis yang diadakan oleh UKMKU. Ilmu yang didapat tersebut ia terapkan pada bisnis ini. Salah satunya bagaimana cara membagi tugas agar produksi kue kering bisa berjalan secara maksimal. Misalnya, suami mengurusi bagian keuangan dan pembukuan. Suami juga mengontrol kemasan produk apakah sudah rapi. Bagian perencanaan produksi dan pencatatan dilakukan oleh adik ipar Fitri.  Dengan begitu Fitri lebih fokus.
Untuk produk kue kering, para perempuan yang tinggal dekat rumahnya. Menurut Fitri, selain membuat produksi lebih cepat, cara ini sekaligus bentuk kepeduliannya dalam membangun lapangan kerja. Pada hari-hari biasa, ada sekitar sepuluh orang perempuan yang bertugas membuat kue. Mendekati Lebaran, jumlah karyawannya akan bertambah karena permintaan akan kue kering pun semakin tinggi.
Kini sudah ada 15 jenis kue yang dipasarkan di 6 distributor di Jakarta, Tangerang, Lampung, Bogor, Serpong, dan Bandung. Kue kering dengan label Palem dijual dengan harga sama di setiap kotanya. Cara ini ia lakukan agar para distributor tidak bersaing menaikkan harga. Selain itu, keunggulan lainnya adalah, produk buatan Fitri tak mengandung bahan pengawet. “Semuanya dijamin halal dan harganya pun terjangkau,” ceritanya.
Dari hasil penjualan kue kering, kini Fitri bisa membeli rumah dan mobil. “Rumah yang saya tempati ini dibangun dari hasil penjualan kue kering dua kali Lebaran,” kata Fitri dengan wajah berseri. Ke depannya Fitri akan terus mengembangkan bisnisnya. Ia berencana akan membangun toko kue agar semakin banyak menyerap karyawan. “Semoga keinginan ini cepat terwujud,” tutupnya.

Dikutip dari http://www.majalahsekar.com/dunia-usaha/profil/450-dian-eka-bangun-rumah-berkat-kue-kering